Resiliensi Kesehatan Menaklukkan Covid-19

Penulis : Dr.Abidinsyah Siregar*)
#Tren posisi Indonesia semakin naik keatas, Jangan Khawatir!
#Presiden Jokowi memerintahkan LBP. LBP Gunakan 3 Strategi
Hari-hari diawal Oktober 2020, Bangsa Indonesia sedang berpacu menemukan “semua” suspek infeksi virus Covid-19 melalui Test untuk memastikan terkonfirmasi (positif) atau tidak, selanjutnya menyasari semua kontak eratnya melalui upaya pelacakan (Tracing), dan oleh fasilitas kesehatan ditetapkan status Treatment nya dalam isolasi atau perawatan.
Test untuk menemukan kasus, terutamanya kasus terkonfirmasi yang bersembunyi dalam wujud Tanpa Gejala (lebih 70%) membuat upaya ini butuh semangat dan kecerdasan. Beberapa Negara melakukan Test yang gencar, terbukti menemukan kasus yang banyak dan berdampak nyata pada menurunnya jumlah pertambahan kasus harian dan mulai memasuki fase TERKENDALI sebagai gerbang efektif menuju Adaptasi Kebiasaan Baru.
Tabel berikut (10 Oktober) menunjukkan hubungan peningkatan Test dan akibatnya dalam penurunan Pertambahan Kasus harian dan Persentase Kesembuhan yang semakin membaik :
Tabel diatas sangat dinamis, pada tulisan minggu yang lalu, posisi Indonesia ditempat ke-23, Dengan pertambahan harian diatas 4.000, maka minggu depan Indonesia diperkirakan akan melewati Turki, Filipina dan Arab Saudi yang semuanya sedang menikmati penurunan pertambahan kasus dan meningkatnya persentase kesembuhan jauh diatas 80an%.
Posisi Indonesia yang semakin baik, dikarenakan pertambahan kasus terkonfirmasi yang sangat banyak dari hasil pencarian kasus melalui Test yang semakin massif. Ini bermakna kita sudah berada dijalur yang tepat, sekalipun terlambat dibanding Negara lainnya. Dalam penanganan Wabah, kompleksitas penularan dan dampaknya harus diantisipasi dan dikendalikan secara komprehensif dengan satu KOMANDO yang tegas.
Pergeseran Komando Penaggulangan Covid-19
Pertengahan September yl, Presiden memberi perintah kepada Jenderal TNI (Purnawirawan) Luhut Binsar Panjaitan. Perintah terbaru ini menunjukkan Presiden semakin melihat kompleksitas pandemi Covid-19 dan dampak luasnya. Prinsip Komando sejak awal sudah diingat para ahli dalam penanggulangan wabah.
Setelah sebelumnya operasional ditangani Jenderal bintang tiga, kemudian kepada Sipil dengan jabatan Menteri Kordinator, kini Jenderal bintang empat dengan jabatan Menko yang juga berpengalaman banyak jabatan Menteri sebelum-sebelumnya.
Perintah untuk secara khusus mengendalikan virus Covid-19 pada 9 (Sembilan) Provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Papua dan Bali. Ke Sembilan wilayah ini menyumbangkan sekitar 75% kasus.
Ada 3 (tiga) tugas besarnya, Penurunan pertambahan kasus harian, Peningkatan angka kesembuhan dan Penurunan angka kematian. Menatap kepada Data Tabel diatas, ketiga tugas tersebut masih sangat relevan dan merupakan kunci sukses penanganan.
Ketiga tugas pak LBP hanya bisa dikendalikan manakala jumlah kasus yang sesungguhnya sudah didapat. Jika belu, maka angka kematian belum bisa ditekan dan jumlah kesembuhan hanya sedikit naik merangkak dibandingkan Negara lainnya yang sudah diatas 85-95% kesembuhan, dibandingkan kita yang masih disekitar 76%.
Persentase kesembuhan ini sudah merupakan prestasi luarbiasa dari para petugas kesehatan yang ikhlas bertarung nyawa dalam tugas dan keterbatasannya.
Penemuan kasus hanya bisa diperoleh dengan Peningkatan bermakna jumlah Test. Lihatlah jumlah Test dari semua Negara yang kini relatif terkendali pertambahan kasus hariannya, pertambahan jumlah kematian dan Peningkatan tajam jumlah kesembuhannya.
Jumlah test Indonesia kita, masih sangat amat sedikit. Itu bisa dilihat dari indikator yang digunakan oleh WHO, yakni Ratio jumlah Test persejuta populasi, dimana Indonesia termasuk masih terendah.
Startegi Luhut Kenjinakkan Covid-19
LBP membeberkan tiga strategi menjinakkan Corona, yaitu pertama, Maksimalisasi peran TNI dan Polri (tentu ditambah seluruh Aparat Pemerintahan terbawah) untuk memastikan tegaknya Disiplin Protokol Kesehatan. Ini harus dianggap tugas utama selama 24 Jam sehari, 30 hari dalam sebulan. Tidak boleh ada titik kumpul publik yang lalai dari pengamatan terus menerus. Hal ini perlu karena terkait dengan mental dan Perilaku buruk. Jangan kita korbankan kedisplinan orang banyak dengan pembiaran pada kelompok kecil yang relatif kurang perhatian.
Strategi kedua, Pengecekan akurasi data di Kabupaten dan Kota. Diminta kepada Panglima Kodam dan Kapolda untuk melaksanakan tugas ini. Perlu pendampingan para Ahli Epidemiologi dari Universitas pada 9 Provinsi tersebut. Ada kekhawatiran kasus Orang Tanpa Gejala (OTG) di Rumah Sakit menghambat kesembuhan yang bergejala Berat. Masuk diakal, namun setiap RS sudah memiliki Prosedur tindakan sesuai kegawatan setiap kasus tanpa mengabaikan hak setiap warga untuk mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya sesuai Perundang-undangan yang berlaku.
Setiap RS juga harus terus melakukan pengawasan terhadap Tren Infeksi Nosokomial yang bisa menjadi masalah besar dan penyebab kematian terbesar di RS.
Strategi ketiga pak LBP adalah Sinkronisasi data antara Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan di beberapa daerah sehingga tidak ada manipulasi angka di lapangan. Sempat terdengar adanya kecurigaan adanya Kasus atau Kematian yang “di-covid-kan”, ada isu bahwa RS mendapat biaya ganti tindakan yang besar dari setiap kasus dan kematian. Padahal, setiap RS memiliki Tim Verifikasi tindakan untuk menetapkan nilai tagihan yang diawasi dengan seksama dan bisa di Audit setiap saat atas perintah Menteri terkait. Informasi yang “bias” dan lambat, menyebabkan banyak terjadi tragedi pengambilan paksa jenazah (Covid-19) dari Rumah Sakit.
LBP menegaskan keinginannya agar seluruh Pimpinan Daerah tidak segan mengambil kebijakan dan tindakan yang tegas dan keras untuk mendisiplinkan penerapan Protokol Kesehatan, guna mencegah jumlah kasus yang terus bertambah. Untuk memperkuat upaya penegakan disiplin Protokol Kesehatan, segera digunakan Sistem dan Aplikasi terpadu, khususnya didaerah Kluster yang terhubung dengan CCTV. LBP minta Jakarta menjadi Model percontohan mengawali. Yang langsung disambut Gubernur DKI Jakarta “we will follow order” (Kami akan ikuti Perintah).
Resiliensi Kesehatan Adalah Tujuan
Ketahanan Nasional sedang dalam ancaman. Akibat pandemi Covid-19 telah berdampak luas kepada aspek Pendidikan, Ekonomi, Sosial, Kepariwisataan, bahkan Keagamaan. Semakin lambat penuntasan masalah kesehatan akan menyeret kondisi sosial dan ekonomi pada situasi yang memburuk dan mengundang kerawanan.
Lambatnya pengendalian dan penuntasan akibat Covid-19 di Indonesia, akan membuat semakin lemahnya kemampuan Nasional dalam mengatasi, karena sumberdaya yang semakin terkuras, terbatas dan keraguan yang meluas.
Itu tidak boleh terjadi. Jakarta Declaration 1997 melalui Kongres Promosi Kesehatan Sedunia menuju Abad ke-21 telah berkomitmen “Poverty is The Greatest threat to Health” memberi arahan kepada setiap Negara untuk segera menuntaskan masalah Kesehatan sebelum datang bencana yang lebih berat.
Pada akhir September 2020 yang lalu, penulis terhubung dengan suatu Webinar Internasional dengan Pembicara putra Indonesia yang mendunia, bergelar Sir dari Kerajaan Inggris, Sir Harry Darsono,PhD berbicara dalam kulaih umum “From Crazy to Creativity”. Sir Harry adalah seorang designer multi talenta dan juga seorang psikolog sekaligus pendidik. Dalam kuliahnya beliau mengatakan “Doing the SAME thing in the same way with the SAME thinking style on the DIFFERENT era and challenge yet expects IMPROVEMENT and GREAT success is..Non SENSE”.
Pesan pak Darsono, maknanya “Jika kita melakukan pekerjaan yang SAMA dengan cara yang SAMA serta pola fikir yang SAMA pada zaman dan tantangan yang BERBEDA, namun berharap memperoleh KEMAJUAN dan KEBERHASILAN BESAR adalah Omong Kosong. Malahan Sir Harry menyebut adalah GILA. Keras memang statementnya, namun itulah kejujuran ilmu dan etika.
Penulis tergelitik, sepertinya pesan itu tepat kita jadikan semangat untuk penguatan upaya peningkatan Resiliensi Kesehatan Nasional dalam menghadapi Covid-19.
Menurut Reivich dan Shatté,2002, Resiliensi adalah merupakan kapasitas (disebut juga daya pegas) seseorang (adaptasi) untuk merespon secara sehat dan produktif ketika berhadapan dengan kesengsaraan atau trauma, yang diperlukan untuk mengelola tekanan hidup sehari-hari atau kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.
Pendapat yang hampir sama dikemukan banyak pakar lainnya seperti Block, RG Reed dan banyak lagi. Roberts (2007) misalnya mengatakan resiliensi merupakan kehadiran good outcomes (hasil yang baik) dan kemampuan mengatasi ancaman dalam rangka menyokong kemampuan individu untuk beradaptasi dan berkembang secara positif.
Kapasitas ini sangat dibutuhkan pada masa pandemi Covid-19 ini. Trauma sudah berdampak multi sektoral, berpengaruh kuat terhadap ekonomi, pendidikan, pangan, sosial, bahkan berpengaruh pada aktivitas keagamaan,
Re-install tata kehidupan perlu dilakukan untuk mencapai Resiliensi Kesehatan. Dengan catatan, perubahan dan Re-install harus berakar pada pemahaman yang kuat akan sebab musabab Pandemi dan konsekuensi baru dalam tatanan hidup baru yang merupakan respons perbaikan/pertobatan atas penyimpangan pola dan gaya hidup yang jauh dari tatanan kesehatan yang sesungguhnya. Kemampuan adaptasi untuk mencapai Kapasitas unggul dan berkembang secara positif, bisa dicapai dengan Penguasaan 7 (Tujuh) Kemampuan Adaptasi untuk mendapatkan Ketahanan (resiliensi) yang komprehensif dalam membangunan Ketahanan Nasional. sebagai berikut :
- Optimisme. Rasa optimis itu perlu saat dimana banyak diberlakukan pengekangan atau pembatasan seperti Salah satu tanda Individu yang Resilien adalah Optimis. Punya harapan terhadap masa depan, perbaikan dan kepastian. Individu optimis, selalu lebih sehat secara fisik, terhindar dari depresi, lebih produktif dan berprestasi.
- Empati, karakter ini lebih kuat dari sekedar kepedulian. Empati mencerminkan seberapa baik individu mengenali keadaan psikologis dan kebutuhan emosi orang lain. Seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. Dan dalam situasi Pandemi, dibutuhkan orang-orang berempati terhadap sesama yang masih bingung dan penuh rasa ketakutan berlatar ketidak tahuan (Social Support).
- Ketahanan Emosi, kemampuan untuk tetap tenang di bawah tekanan. Mengendalikan dirinya apabila sedang kesal dan dapat mengatasi rasa cemas, sedih, atau marah sehingga mempercepat dalam pemecahan suatu Pengekspresian emosi, baik negatif ataupun positif, merupakan hal yang sehat dan konstruktif asalkan dilakukan dengan tepat. Pengekspresian emosi yang tepat seperti ketenangan dan tetap fokus adalah ketahanan individu (resilien).
- Pengendalian Impuls, kemampuan mengendalikan Rendahnya pengendalian diri saat Pandemik, karena bosan dirumah, merasa terlalu dikekang, hilangnya rasa kebebasan, sering menyebabkan kehilangan kesabaran, impulsive dan melanggar aturan.
- Analisis Penyebab Masalah. Ada sebahagian orang justru berkarakter menghindari Dalam kampanye Pakai Masker, sudah digunakan narasi “Maskermu melindungiku, Maskerku melindungimu”, tetapi kita masih melihat banyaknya orang tidak menggunakan masker tanpa merasa salah dan takut. Pada individu yang berfikir personal, yang menempatkan dirinya sebagai “saya dan bukan saya”. Gaya berpikir “saya” adalah individu yang cenderung menyalahkan diri sendiri atas hal yang tidak berjalan semestinya. Sebaliknya, Individu dengan gaya berpikir “bukan saya”, meyakini penjelasan eksternal (diluar dirinya) atas kesalahan yang terjadi.
- Efikasi Diri. Adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi dan memecahkan masalah dengan Efikasi diri juga berarti meyakini diri sendiri mampu berhasil dan sukses. Individu dengan efikasi diri tinggi memiliki komitmen dalam memecahkan masalahnya. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan kemampuan dirinya dan mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami.
- Peningkatan aspek positif. Individu yang berketahanan memiliki kualitas aspek Dia mampu membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, dan mampu melihat gambaran besar dari kehidupan. Individu ini akan lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian emosi.
Pada tulisan yang lalu, sejumlah Penyintas (bekas penderita) Covid-19, mulai dari berusia 27 tahun hingga 66 tahun. Ada mahasiswa S2 hingga Pengusaha. Ada Dokter dan ada pula Peneliti. Ada yang mengalami 74 hari isolasi, 8 kali dari 10 kali Swab yang Positif. Ada pula yang mendapat stigma dari masyarakat, sehingga orang tidak mau lewat dari depan rumahnya dan bahkan toko orang tuanya di kota pun tidak dimasuki karena di stigma anaknya terkena virus Covid-19.
Tetapi mereka berhasil menjadi Survivor/Penyintas yang sukses. Modalitasnya adalah keyakinan (memiliki Efikasi), optimisme, berfikir positif, daya analisa permasalahan yang kuat, ikhlas, serta ketahanan emosi dan pengendalian diri yang baik. Inilah Resiliensi basis Ketahanan Nasional.
Jakarta, 11 Oktober 2020 Dr.Abidin/ GOLansia.com
*) Dr.Abidinsyah Siregar,DHSM,MBA,MKes : Ahli Utama BKKBN dpk Kemenkes/ Mantan Deputi BKKBN/ Mantan Komisioner KPHI/ Mantan Kepala Pusat Promkes Depkes RI/ Alumnus Public Health Management Disaster, WHO Searo, Thailand/ Mantan Ketua MN Kahmi/ Mantan Ketua PB IDI/ Ketua PP IPHI/ Ketua PP ICMI/ Ketua PP DMI/ Waketum DPP JBMI/ Ketua PP ASKLIN/ Penasehat BRINUS/ Penasehat Klub Gowes KOSEINDO/ Ketua IKAL FK USU/ Ketua PP KMA-PBS/ Ketua Orbinda PP IKAL Lemhannas/ Pengasuh media sosial GOLansia.com dan Kanal-kesehatan.com (Tulisan ke-53)