Eliminasi Tuberkulosis 2030? Kita pasti bisa

Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas) yang dilaksanakan pada tanggal 5-8 Maret 2018 membahas 3 masalah utama yaitu: stunting, imunisasi dan tuberkulosis. Kali ini kita akan kupas tentang masalah tuberkulosis di Indonesia, termasuk upaya yang harus dilakukan untuk mencapai target eliminsi tuberkulosis pada tahun 2030.
Kepala Badan Litbang Kesehatan Kemkes, Dr. Siswanto MPH, DTMH dalam penyajiannya menyampaikan bahwa dalam lebih dari 2 dekade, penyakit menular yang menjadi penyebab kematian turun peringkatnya secara bermakna, kecuali tuberkulosis, yang hanya turun setingkat dari penyebab kematian nomer 2 menjadi nomer 3. Sekarang penyebab kematian didominasi oleh penyakit tidak menular.
Tabel 1. Perubahan urutan penyebab kematian tahun 1990 dan 2006-2016
Data dari pengelola program menunjukkan bahwa angka keberhasilan pengobatan tuberkulosis sudah tinggi, sekitar 90% (lihat tabel 1). Namun bila dilihat dari angka cakupan deteksi kasus, ternyata baru mencapai 41% (lihat gambar 1). Artinya lebih dari separo kasus tuberkulosis belum tercatat.

Gambar 1. Kecenderungan keberhasilan pengobatan tuberkulosis

Gambar 2. Kecenderungan cakupan pengobatan tuberkulosis
Dilihat dari sisi pengetahuan masyarakat, gambarannya dapat dilihat pada tabel berikut (tabel 2). Ternyata masih sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa pengobatan tuberkulosis itu gratis.
Tabel 2. Tingkat pengetahuan masyarakaat, 2013/2014

Sumber: Survei prevalensi tuberkulosis, 2013/2014
Selanjutnya studi inventory tuberkulosis yang sekarang dalam tahap analisis, dapat disampaikan laporan sementara pelacakan kasus-kasus tuberkulosis seperti pada gambar berikut.

Gambar 3. Estimasi insiden, kasus terdeteksi dan kasus ternotifikasi, laporan hasil sementara studi inventori tuberkulosis, 2017
Kasus yang ternotifikasi oleh program sebanyak 401.130 penderita, sementara itu diperhitungkan ada 310.000 kasus yang sudah diobati di fasilitas kesehatan Rumah Sakit dan FKTP swasta yang belum tercatat oleh program dan 310.000 kasus yang memang belum ditemukan. Mencermati temuan studi inventori tersebut, kasus tuberkulosis dapat dikelompokkan menjadi 3 dengan intervensi yang berbeda sebagai berikut.
- Kelompok kasus yang sudah ternotifiksi sekitar 40%, pada umumnya mereka telah diobati dengan baik dengan angka keberhasilan pengobatan sekitar 90%. Intervensi ditujukan kepada 10% yang gagal terapi. Pencegahan dilakukan dengan memperkuat peran PMO (pengawas makan obat), sementara untuk kasus tuberkulosis resistensi obat dirujuk untuk mendapatkan obat2an yang lebih selektif.
- Kelompok kedua sekitar 30% adalah mereka yang berobat ke Rumah Sakit atau fasilitas kesehatan swasta, mereka telah diobat tetapi belum tercatat oleh pengelola program tuberkulosis. Untuk ini intervensinya adalah:
- Ditelusuri penderitanya untuk dicek apakah pengobatan yang dilakukan selama ini mengikuti regimen terapi program atau tidak. Bila tidak mengikuti pengobatan TBC standar, maka perlu diperbaiki regimen terapinya agar tidak terjadi TBC resistensi obat.
- Bila sudah terjadi TBC resistensi obat, dirujuk ke palayan yang lebih tinggi agar segera bisa disembuhkan. Program harus mengantisipasi kemungkinan ini, karena sebagian besar pengobatan tuberkulosis di rumah sakit dan fasilitas kesehatan swasta tidak mengikuti pengobatan terstandar.
- Dilakukan pelacakan kontak dari penderita tuberkulosis, biasanya Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan swasta tidak melakukannya, karena memang bukan tugasnya. Pelacakan kasus ini bisa dilakukan melalui pendekatan keluarga dalam PISPK (Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga)
- Kelompok ketiga adalah mereka yang belum terdeteksi. Untuk kelompok ini tentu saja intervensinya melalui PISPK. Dengan kunjungan keluarga, akan dideteksi suspek penderita yang kemudian dipastikan diagnosisnya oleh pengelola program.
Langkah-langkah inilah yang harus segera dilakukan, kalau kita ingin mencapai target eliminasi tuberkulosis pada tahun 2030. Selamat bekerja dengan cerdas.