Clinical pathway meningkatkan kualitas layanan pasien stroke

Prevalensi stroke di Indonesia cenderung meningkat cukup tajam, dari sebesar 8,3/1000 penduduk (Riskesdas 2007) naik menjadi 12,1/1000 penduduk (Riskesdas 2013). Stroke memberikan dampak klinis dan beban ekonomi yang tinggi. Bila salah satu anggota keluarga terkena stroke, mereka seperti kehilangan potensi 2 orang, yang menderita sakit dan seorang lagi yang merawatnya. Pelayanan stroke yang lebih terorganisir diperlukan untuk menghasilkan kualitas pelayanan stroke yang lebih baik, bermutu dan terkendali dalam biaya. Salah satu strategi untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah dengan menerapkan clinical pathway dalam menangani pasien stroke. Clinical pathway merupakan suatu alur pelayanan klinik yang diberikan pada pasien sejak masuk hingga keluar rumah sakit.

Gambar 1. DR. Dr. Telly Purnamasari Agus, M.Epid sedang mempertahankan disertasinya
- Dr. Telly Purnamasari Agus, M.Epid berhasil mempertahankan disertasinya dengan yudisium sangat memuaskan, membuktikan bahwa penerapakn clinical pathway dapat meningkatkan kualitas layanan kepada pasien stroke. Disertasi dengn judul “Pengaruh pelaksanaan clinical pathway terhadp proses pelayanan dan lama hari rawat pasien stroke iskemik di tiga Rumah Sakit Indonesia” dengan disain kohort retrospektif membuktikan bahwa:
- Pasien stroke iskemik yang ditatalaksana dengan clinical pathway, secara bermakna menurunkan risiko proses pelayanan tidak lengkap sebesar 67% dibanding pasien yang ditatalaksana tanpa clinical pathway, setelah dikontrol variabel keparahan penyakit dan dukungan manajemen.
- Pasien stroke iskemik yang ditatalaksana dengan clinical pathway, secara bermakna menurunkan risiko lama hari rawat panjang sebesar 53% dibanding pasien yang ditatalaksana tanpa clinical pathway, setelah dikontrol variabel keparahan penyakit, dukungan manajemen dan proses pelayanan.
Disamping itu, perhitungan berbasis ABC (Activity Based Costing) menghasilkan biaya pengobatan pasien stroke iskemik dalam satu episode perawatan sesuai clinical pathway adalah Rp. 9.660.805. Perhitungan ilmiah semacam ini layak diterapkan untuk menghitung besarnya klaim ke BPJS Kesehatan.

Gambar 2. DR. Dr. Telly Purnamasari Agus M.Epid berfoto bersama Dekan, Promotor dan para pengujinya
Penderita stroke iskemik ternyata 38,9% usia produktif (18-55 tahun) atau bila sampai 65 tahun mencapai >70%. Bangsa Indonesia akan rugi besar bila kondisi ini dibiarkan, mereka yang seharusnya produktif, malah menjadi beban keluarga. Oleh karena itu stroke harus dicegah dengan cara mengendalikan faktor risiko stroke.
Ditemukan pula komorbiditas stroke iskemik adalah:
- Dislipidemia (87,6%) à data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa 35,9% penduduk dewasa mempunyai kadar kholesterol tidak normal
- Hipertensi (78%), à data Riskesdas 2013 mendapatkan bahwa 25,8% penduduk dewasa (bila dihitung jumlahnya >40 juta orang) menderita hipertensi
- Diabetes melitus (32,9%) à data Riskesdas 2013 menunjukkan 6,9% penduduk dewasa menderita diabetes melitus.
Penanggulangan faktor risiko stroke mutlak harus dilakukan, yaitu pengendalian dislipidemi, hipertensi dan diabetes melitus, termasuk merokok yang merupakan faktor risiko hipertensi.
Temuan lain, sebanyak 1/3 jumlah penderita mengalami onset serangan stroke (dari timbulnya gejala stroke sampai admisi di RS) setelah 24 jam. Ini menunjukkan masih rendahnya kualitas FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama).Oleh karena itu upaya peningkatan mutu FKTP seperti akreditasi harus terus dilakukan.

Gambar 3. Berfoto bersama koleganya di Badan Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.