PERLUKAN KESEHATAN FISIK DAN JIWA DALAM BERHAJI? PERLUKAH DITEGAKKAN ISTITHO’AH KESEHATAN?

Oleh : Dr.H.Abidinsyah Siregar,DHSM,Mkes
Redaktur Ahli pada Media Sosial kanal-kesehatan.com
Pertanyaan ini terasa menggelikan, karena sudah dapat dipastikan semua akan mengatakan “perlu” bahkan “perlu sekali”. Yang tidak berhaji pun akan mengatakan demikian. Lantas mengapa ini dipertanyakan lagi?
Pada suatu kesempatan wawancara Ketua KPHI (Komisi Pengawas Haji Indonesia) Drs.H.Samidin Nashir,MM media menuliskan dalam judul “Kemenag sudah seharusnya mendorong tegaknya Istitho’ah Kesehatan”.
Dalam 2 tahun terakhir ini keberangkatan jamaah haji Indonesia diwarnai aneka berita baik dan tak kalah ramainya berita yang tidak baik, maklumlah adagium “bad news is the best news” masih sering menggelitik dunia pemberitaan kita. Fungsi kontrol media harus melihat dan mengungkapkan sisi “bad” dari suatu peristiwa, untuk mendorong pihak pengandil (stakeholders) menemukan cara dan solusi yang “good” bahkan terbaik dalam suatu kebijakan.
Sejak diterapkannya rekomendasi Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI) tahun 2013 dan tahun 2014 yang meminta Pemerintah melalui Presiden RI, agar PPIH (Panitia Penyelenggara Ibadah Haji menerapkan standar kemampuan kesehatan yang meliputi kemampuan fisik dan psikhis, kemudian Menteri Kesehatan dan Menteri Agama membuat Memorandum of Understanding (MoU) tentang Istitho’ah Kesehatan bagi Calon Jamaah Haji pada 11 Agustus 2015. Kebijakan itu mulai dilaksanakan sejak 2016 dan berlanjut ke tahun 2017.
Kementerian Kesehatan selaku pihak yang paling bertanggungjawab di bidang kesehatan tampak sudah berupaya keras mempersiapkan pelayanan kesehatan haji di Indonesia dan di Arab Saudi dengan perencanaan yang terpadu dan pelayanan yang variatif komprehensif. Kebijakan Istitho’ah Kesehatan yang dituangkan kedalam Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 15 Tahun 2016, secara konsepsional dimulai penyelenggaraan nya sejak Calon Jamaah mendaftarkan diri. Pemeriksaan pertama dilakukan oleh Puskesmas yang Dokter telah dilatih dan ditetapkan oleh Bupati/ Walikota sebagai tempat pemeriksanaan Kesehatan Haji. Kemudian setelah Calon Jamaah mendapat porsi keberangkatan akan dilakukan Pemeriksaan Kesehatan kedua di Rumah Sakit Umum Daerah/Dinas Kesehatan Kab/Kota, dilakukan evaluasi kondisi berdasarkan catatan mediknya yang sudah tercatat lengkap pada Buku Kesehatan Jamaah Haji (BKJH). Hasil evaluasi akan dilengkapi dengan pernyataan Istitho’ah atau Tidak Istitho’ah sementara (dengan penundaan keberangkatan) atau permanen (sama sekali tidak diperkenankan berangkat karena alasan medis). Saat calon jamaah tiba di embarkasi (sekitar 24 jam sebelum keberangkatan ke tanah suci) akan dilakukan pemeriksaan kesehatan terakhir untuk menentukan laik atau tidak laik terbang sesuai dengan Undang-Undang Karantina yang berlaku Internasional, yang jika dilanggar bisa berakibat luas kepada penerbangan Indonesia.
Kepada jamaah yang laik terbang diberikan gelang penanda Resiko Tinggi bagi setiap Jamaah. Ada gelang merah artinya resiko tinggi berat dan komplikasi sekalipun usia masih dibawah 60 tahun dan harus dengan pendamping. Gelang kuning sebagai penanda berumur diatas 60 tahun dengan penyakit ringan. Sedangkan gelang kuning sebagai penanda hanya karena usia diatas 60 tahun.
SEMAKIN TAHUN SEMAKIN RIBUT
Dua tahun ini 2016 dan 2017, embarkasi diwarnai dengan kegaduhan karena sejumlah jamaah yang sudah siap berangkat dinyatakan tidak istitho’ah oleh tim kesehatan, sehingga direkomendasikan kepada PPIH Embarkasi untuk tidak diberangkatkan. Terjadilah keributan karena ada yang merupakan anggota keluarga jamaah yang lain, ada yang merupakan pasangan suami-istri. Jamaah tidak mau menerima keputusan pembatalan karena mereka sudah datang jauh dari kampung, yang bahkan sudah naik pesawat dengan terlebih dahulu dilepas dengan berbagai acara budaya dan kebiasaan ditempatnya. Dalam suatu pemberitaan disebutkan mereka sudah dilepas bagaikan haji beneran. Suasana haru dan gembira melepas mereka dari kediaman dan kampungnya. Tiba-tiba, di embarkasi, bagai disamber petir mereka mendapat khabar tidak boleh berangkat karena tidak istitho’ah.
Terjadilah suasana ribut disemua 13 embarkasi penerbangan haji dan hampir setiap hari kasus yang sama berulang dalam versi dan gejolak yang berbeda. Ada sebagian jamaah menerima keputusan tidak berangkat. Namun banyak yang “melawan” dengan berbagai cara dan bahkan menggunakan saluran politik dan kadang kekerasan/pertengkaran. Sering terjadi Kepala PPIH embarkasi dengan alasan kemanusiaan menerbitkan surat menganulir rekomendasi tim kesehatan embarkasi dan membolehkan calon jamaah yang telah dinyatakan tidak istitho’ah untuk berangkat.
APA YANG KEMUDIAN TERJADI ?
Dari penelusuran KPHI, ditemukan dari data kunjungan sakit jamaah di KKHI Makkah dan 11 Sektor pada tahun ini yang masuk kualifikasi tidak istitho’ah terutama karena 5 penyakit utama seperti gangguan jantung berat, penyakit paru berat dengan TB aktif, kanker stadium lanjut, gangguan ginjal dengan cuci darah, gangguan jiwa/hilang ingatan yang keseluruhannya berjumlah 1.074 orang, meningkat dibandingkan dengan tahun 2016 sebanyak 264 orang.
Sementara itu beban kerja kesehatan menunjukkan eskalasi yang terus meningkat, jamaah dengan usia diatas 50 tahun sudah mencapai hampir 75%, sedangkan jamaah resiko tinggi (usia diatas 60 tahun dan jamaah lainnya dengan penyakit akut/kronis berat) mencapai 67%, lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya. Keadaan semakin sulit karena jumlah tenaga kesehatan justru berkurang dibanding tahun 2016, padahal tahun ini jamaah haji Indonesia kembali kepada kuota semula menjadi 221.000 jamaah, setelah selama 5 tahun sejak 2012 pada kuota 168.000 jamaah.
Kementerian Kesehatan sudah meminta penambahan tenaga kesehatan setidaknya 68 orang lagi untuk memastikan efektifnya pelayanan kesehatan bagi jamaah haji yang tentunya menjadi haknya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang adil, profesional dan terhormat.
Tenaga yang terbatas berhadapan dengan jumlah jamaah yang meningkat 40%, dimana didalamnya 67 % resiko tinggi, dan ditengarai ribuan yang diloloskan dari rekomendasi tidak istitho’ah, menjadi sebuah “keluarbiasaan” yang memprihatinkan karena sudah pasti pelayanan tidak optimal.

Gambar 1. Liputan 6, 14 September 2017. Tampak ruang lobby tunggu menjadi tempat perawatan gawat darurat karena meluapnya jemaah yang sakit
Tahun ini jamaah wafat mencapai 640 orang, suatu angka tertinggi setelah peristiwa muaissim (terowongan mina) tahun 1992. Angka tersebut setara dengan 3,65 permil jauh diatas batas toleransi angka wafat yg selama ini dianut yakni kurang dari 2 permil. Tahun 2016 wafat sebanyak 328 orang atau 1,94 permil. Angka kematian jamaah haji tahun ini, rada unik, karena tanpa ada peristiwa alam. Kematian pada tahun-tahun sebelum ditandai dengan adanya peristiwa alam seperti kenaikan suhu ekstrim selepas wukuf dan mati lampu sehingga sistem pendinginan dan air tidak bekerja, atau adanya kecelakaan tehnis dimana crane pembangunan masjid jatuh dll.
Sejak 2013 KPHI konsisten melakukan pengawasan dan memberikan kritik serta rekomendasi perbaikan. Sejumlah kebijakan telah dilaksanakan PPIH untuk menyamankan para calon jamaah untuk berhaji di Arab Saudi. Dibidang Kesehatan, selain merekomendasikan perbaikan pelayanan, prosedur pelayanan kesehatan, ketenagaan, ketersediaan obat-obatan, kebijakan istitho’ah kesehatan, hingga hal-hal yang disebut sebagai beyond health seperti akomodasi hotel dimana setiap kamar ditetapkan kapasitasnya memenuhi kelegaan sehingga ada ratio jumlah jamaah per kamar, jarak pemondokan jamaah dengan Masjidil Haraam atau Masjid Nabawi agar jamaah tidak terlalu letih, makanan katering yang diawasi kebersihan/sanitasi dan kalori serta ketercukupan persediaan air minum, hingga pelayanan lainnya.
APA SEHARUSNYA PERAN CALON JAMAAH HAJI?
Tujuan penerapan istitho’ah kesehatan sudah pasti membuat setiap jamaah haji dalam keadaan fit/sehat (terpenuhi syarat istitho’ah kesehatan) sepenuhnya jasmani dan rohani agar jamaah dapat melaksanakan seluruh rukun dan wajib haji/umrohnya. Tercapainya kondisi istitho’ah kesehatan pada semua jamaah, dipastikan akan diikuti dengan turunnya angka kesakitan jamaah, angka wafat atau kematian jamaah, angka badal haji dan safari wukuf secara bermakna, serta tumbuhnya perilaku hidup sehat sepanjang hayat.
Intinya, istitho’ah kesehatan merupakan pendukung utama untuk mencapai haji yang mabrur sebagaimana yang menjadi niat dan doa setiap jamaah dan keluarganya. Karena itu setiap calon haji sejak perdaftaran harus secara teratur datang ke Puskemas terdekat untuk mendeteksi kondisi fisik dan psikis, sekaligus memantau jika ada faktor risiko.
Untuk mencapai itu perlu kerjasama dan kejujuran dari para calon jamaah haji, jangan berbohong atau menyembunyikan penyakit apapun. Sesungguhnya setiap penyakit ada obatnya. Para dokter bukan menghalangi calon jamaah pergi haji, tetapi mempersiapkan para calon haji menjadi istitho’ah (berkemampuan) dibidang kesehatan. Jika fisik dan jiwa sudah sehat, niat sudah terpasang, ilmu dan agama sudah lengkap, doa selalu dipanjatkan, insha Allah ibadah haji dan ibadah lain yang menyertainya akan berjalan dengan tertib, mudah dan sehat.
Mari kita pastikan seluruh Calon Jamaah Haji Indonesia mencapai Istitho’ah Kesehatan.
*) Dr.H.Abidinsyah Siregar,DHSM,Mkes
Komisioner Komisi Pengawas Haji Indonesia
Unsur Pemerintah (Kementerian Kesehatan)
Masa Kerja 2013-2016 dan 2016-2019.